Friday, October 16, 2020

“Kegagalan” Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Indonesia: Kajian Dokumen Panduan Pengembangan Kurikulum 2004

 I. Pendahuluan

Setiap negara di dunia pasti akan selalu berusaha untuk terus meningkatkan kualitas sumber daya manusianya agar kehidupan masyarakat negara tersebut bisa sejahtera dan mampu bersaing dengan negara-negara lain terutama di zaman yang penuh dengan perkembangan dan kemajuan teknologi serta tidak terbatas pada ruang dan waktu seperti sekarang ini. Dunia pendidikan merupakan salah satu jalur utama untuk meningkatkan kualitas manusia di sebuah negara. Sistem pendidikan yang baik akan menghasilkan manusia-manusia yang mampu mempercepat tercapainya tujuan pendidikan dan tujuan pembangunan sebuah negara. Namun, sistem pendidikan yang kurang tepat justru akan mempersulit tercapainya tujuan pembangunan negara dan melahirkan manusia-manusia yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikannya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan mereka akan tertinggal oleh kemajuan negara lain dan tidak dapat bersaing di kancah internasional.

Model kurikulum pendidikan yang dianut oleh sebuah wilayah atau negara sangat mempengaruhi sistem pendidikan yang akan dilaksanakan di wilayah tersebut. Penentuan model kurikulum harus mempertimbangkan berbagai faktor diantaranya adalah karakter masyarakat dan berbagai potensi yang dimilikinya. Kurikulum yang telah terbukti efektif dan sukses meningkatkan kualitas sumber daya manusia di sebuah wilayah belum tentu cocok jika diterapkan di wilayah lain. Oleh sebab itu, para ahli pendidikan beserta pemerintah suatu wilayah memiliki tugas berat dalam menentukan sistem pendidikan dan model kurikulum yang akan diterapkan.

Pelaksanaan kurikulum pasti akan mengalami berbagai hambatan. Jenis hambatan ini bisa berupa sesuatu yang berkaitan dengan keterbatasan atau ketidakmampuan para pelaku pendidikan dalam melaksanakannya, atau bisa juga dikarenakan sesuatu yang lain seperti materi yang harus diajarkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman atau telah usang dan butuh pembaruan. Oleh sebab itu, kurikulum yang digunakan di suatu wilayah pasti mengalami perubahan atau disesuaikan dengan berbagai kondisi yang sedang terjadi sehingga proses pendidikan di wilayah tersebut dapat terus berkembang dan mampu mewadahi beragam kebutuhan sehingga hasil pendidikannya tetap mampu bersaing dengan perkembangan global.

II. Sejarah Penerapan Kurikulum Pendidikan di Indonesia

Indonesia telah mengalami sejumlah perubahan atau penyesuaian kurikulum pendidikan. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis atas terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi di masyarakat. Hal ini merupakan bukti bahwa kurikulum, yang merupakan bagian utama dari sistem pendidikan, perlu dikembangkan dan disesuaikan secara dinamis dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Pada setiap perubahan terdapat perbedaan di tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya. Urutan perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia berdasarkan tahun perubahan beserta uraian singkatnya adalah sebagai berikut:

A. Kurikulum 1947

Kurikulum ini adalah kurikulum pendidikan pertama yang digunakan Indonesia. Kurikulum pada masa kemerdekaan ini bernama Rencana Pelajaran 1947. Kurikulum ini sangat politis di mana penerapannya tidak mau menggunakan kurikulum yang telah diterapkan oleh penjajah Belanda. Dikarenakan situasi politik yang belum stabil dan adanya perang revolusi, maka Rencana Pelajaran 1947 baru diterapkan pada tahun 1950. Oleh sebab itu, kurikulum ini sering disebut dengan nama kurikulum 1950 yang penerapannya masih sangat sederhana, yaitu hanya memuat daftar mata pelajaran (beserta jam pengajarannya) dan garis-garis besar pengajaran (cara mengajar).

Mata pelajaran di kurikulum 1947 lebih mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara, dan kesadaran bermasyarakat serta belum memprioritaskan pada pendidikan kognitif. Isi pelajarannya dihubungkan dengan kejadian atau kehidupan masyarakat sehari-hari termasuk kesenian daerah dan olah raga. Garis-garis besar pengajaran adalah panduan cara guru mengajar murid, sebagai contoh, pada pelajaran Bahasa Indonesia guru mengajarkan bagaimana cara berkomunikasi, menulis, dan membaca. Contoh lain, pada pelajaran ilmu alam guru mengajarkan cara menggunakan berbagai perkakas sederhana seperti pompa dan timbangan.

B. Kurikulum 1952

Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1947 di mana rencana pelajaran dirinci lebih lanjut berdasarkan mata pelajaran, silabus yang lebih jelas, dan guru hanya mengajar satu mata pelajaran. Oleh sebab itu, kurikulum 1952 dikenal dengan nama Rencana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada penerapan sistem pendidikan secara nasional dengan tetap mengaitkan isi pelajaran dengan kejadian atau kehidupan masyarakat sehari-hari.

C. Kurikulum 1964

Ciri utama dari kurikulum ini adalah adanya penekanan pada aspek pengetahuan (kognitif). Penekanan ini bertujuan agar masyarakat memiliki kemampuan akademik pada jenjang sekolah dasar. Mata pelajaran diklasifikasikan ke dalam lima kelompok, yaitu: moral, kecerdasan, artistik, keterampilan, dan jasmani.

D. Kurikulum 1968

Perubahan yang terjadi pada kurikulum tahun 1968 ini adalah pada strukturnya. Tujuan pendidikan pada kurikulum ini adalah: (1) Membentuk manusia Indonesia yang sejati, kuat, dan sehat jasmani; (2) Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama.

E. Kurikulum 1975

Tujuan utama kurikulum ini adalah menciptakan pendidikan yang lebih efektif dan efisien. Adanya perubahan kurikulum pada tahun ini dilatarbelakangi oleh pengaruh konsep manajemen yang pada saat itu dikenal dengan management by objective (MBO). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci ke dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Tahun ini juga pengajaran matematika modern secara resmi mulai diterapkan dengan berbagai penyesuaian dalam pelaksanaan pembelajarannya.

F. Kurikulum 1984

Kurikulum tahun 1984 ini mengusung process skill approach atau pendekatan kemampuan proses. Walau mengutamakan pendekatan proses, tujuan pembelajaran (tujuan instruksional) tetap diperhatikan dengan pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Dengan demikian, sebelum memilih dan menentukan bahan ajar, harus dirumuskan terlebih dahulu apa yang harus dicapai oleh siswa. Oleh sebab itu, kurikulum 1984 ini sering disebut sebagai Kurikulum 1975 yang Disempurnakan.

Beberapa alasan dilakukan perubahan kurikulum di tahun ini adalah: Perbedaan kemajuan pendidikan antar daerah di Indonesia; Perbedaan antara program kurikulum dengan kebutuhan sekolah; dan, Materi kurikulum dengan taraf kemampuan siswa belum sesuai. Dengan perubahan ini siswa diposisikan sebagai subjek belajar. Proses pembelajaran yang dilakukan adalah siswa melakukan berbagai metode belajar seperti mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, dan melaporkan. Model pembelajaran seperti ini dikenal dengan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL).

G. Kurikulum 1994

Tujuan pengajaran pada kurikulum 1994 ini menekankan pada pemahaman konsep dan keterampilan menyelesaikan soal atau pemecahan masalah (problem solving). Tahun pelajaran yang selama ini menggunakan sistem semester diganti menjadi sistem caturwulan. Dengan pembagian sistem caturwulan tersebut, para siswa diharapkan dapat memiliki kesempatan yang lebih luas untuk menerima materi pelajaran lebih banyak.

H. Kurikulum 2004

Kurikulum ini mengacu pada pencapaian kompetensi atau berbasis kompetensi sehingga kurikulum tahun 2004 dikenal dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar unjuk kerja yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kurikulum ini merupakan upaya menyiapkan individu untuk mampu melakukan seperangkat kompetensi yang telah ditentukan.

I. Kurikulum 2006

Pada kurikulum 2006 ini, guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan sekolah dan kondisi siswa masing-masing. Standar Kompetensi Kulusan (SKL) serta Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SKKD) setiap mata pelajaran ditetapkan oleh pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan perangkat pembelajarannya (seperti silabus dan sistem penilaian) merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) di bawah koordinasi dan supervisi pemerintah daerah. Oleh sebab itu, kurikulum 2006 ini dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

J. Kurikulum 2013

Kurikulum 2006 dikembangkan menjadi Kurikulum 2013 (Kurtilas) dengan mengacu pada tujuan pendidikan nasional dan evaluasi kurikulum sebelumnya. Penilaian pembelajaran pada kurikulum 2013 menggunakan tiga aspek, yaitu pengetahuan,  keterampilan, dan sikap atau perilaku. Pengembangan kurikulum 2013 mengacu pada: (1) Keseimbangan antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan; (2) Pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran; (3) Model pembelajaran berbasis penemuan, proyek, dan masalah; (4) Penilaian otentik. Pada kurikulum ini juga terdapat materi yang dikurangi dan materi yang ditambahkan.

Berdasarkan sejarah perubahan kurikulum Indonesia yang telah dijelaskan di atas, kita dapat mengetahui bahwa kurikulum tahun 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi merupakan kurikulum dengan masa penerapan terpendek dibandingkan dengan masa penerapan kurikulum lain, yaitu sekitar dua tahun saja. Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk mencari informasi lebih lanjut tentang latar belakang perubahan penerapan kurikulum berbasis kompetensi di Indonesia. Referensi utama yang saya gunakan adalah katalog Kurikulum Berbasis Kompetensi yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional tahun 2003, dan panduan Penyusunan KTSP yang diterbitkan Badan Standar Nasional Pendidikan tahun 2006.

III. Kurikulum Berbasis Kompetensi di Indonesia

Tantangan kehidupan di masa depan pada hakekatnya adalah tantangan terhadap kompetensi yang dimiliki manusia. Oleh karena itu arah pengembangan kurikulum harus berbasis pada pengembangan potensi manusia yang beragam. Berbagai kejadian dan peristiwa di Indonesia, seperti: eksploitasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, ekploitasi manusia terhadap manusia, penggunaan jabatan yang sewenang-wenang dan melanggar sumpah jabatan, perilaku kekerasan di kalangan remaja, kondisi bisnis yang tidak beretika, perilaku politik yang tidak beretika, masalah mutu tenaga kerja, dan lain sebagainya harus menjadi inspirasi bagi pengembangan prinsip-prinsip kurikulum. Selain daripada itu, guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kualitas pendidikan. Namun, guru Indonesia berada pada dilema permasalahan dari sisi kualitas dan tingkat kesejahteraan. Oleh sebab itu, pengembangan dan implementasi kurikulum (kurikulum berbasis kompetensi) harus dapat menjembatani semua kondisi di atas dalam rangka menggapai kemajuan yang berbudaya tanpa ada yang yang dikorbankan.

Perangkat kurikulum berbasis kompetensi merupakan resep instan terhadap masa depan bangsa Indonesia di mata dunia, kondisi bangsa, kondisi sekolah, kondisi guru, serta keberagaman siswa dengan segala kecepatan dan kelambatannya. Ini berarti bahwa implementasi kurikulum akan membawa angin segar serta gairah bekerja kepada para pelaksana pendidikan di sekolah.

A. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Tiga pertimbangan utama dilakukannya penyempurnaan kurikulum dengan menggunakan pendekatan berbasis kompetensi di Indonesia adalah sebagai berikut:

  1. Pemerintah menyadari bahwa upaya peningkatan mutu pendidikan selama ini (yang menggunakan kurikulum 1994) secara umum belum mencapai taraf yang memadai yang mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
  2. Mutu pendidikan Indonesia perlu dibentuk secara utuh yang mencakup dimensi-dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yaitu dari segi moral, akhlak, akal, pengetahuan, keterampilan, dan amal perbuatan/perilaku.
  3. Telah terjadi pembelokan makna mutu pendidikan. Mutu pendidikan cenderung dimaknai pada hal-hal yang hanya berkaitan dengan aspek kemampuan akademik atau kognitif saja. Kecenderungan ini telah membawa dampak pada terabaikannya aspek-aspek penting lain seperti moral, akhlak, budi pekerti, seni, olah raga, dan kecakapan hidup (life skill).

Penerapan kurikulum berbasis kompetensi di Indonesia merupakan respon dari beragam perubahan di dalam negeri dan dunia serta beragam tuntutan stakeholders yang menginginkan adanya peningkatan kualitas pendidikan. Negara-negara berkembang dan negara-negara maju di hampir seluruh dunia saat itu sedang berupaya meningkatkan kualitas pendidikannya dengan mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi.

Selama ini (sebelum kurikulum 2004) kebijakan pengembangan pendidikan dilakukan secara terpusat (sentralistik) di mana semua kebijakan pendidikan diatur oleh pemerintah pusat (dari mulai kurikulum sampai pedoman pelaksanaan teknis). Dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2002 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Kewenangan Pemerintah Daerah berimplikasi terhadap kebijaksanaan pengelolaan pendidikan yang bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Perubahan pengelolaan tersebut merupakan upaya pemberdayaan daerah dan sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan, terarah, dan menyeluruh. Wujud dari pelaksanaan desentralisasi pendidikan dalam kurikulum adalah pembuatan silabus yang diserahkan kepada daerah dan sekolah.

B. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

Keberhasilan suatu inovasi pendidikan, khususnya inovasi dalam pengenalan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, sangat berrgantung pada seberapa jauh dimensi koordinasi dapat dilakukan secara efektif dan komunikatif antar stakeholder yang terkait. Prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam koordinasi di Indonesia adalah “kesamaan visi” dan “kesamaan langkah” dalam memberikan bantuan pada sekolah (guru dan kepala sekolah) sehingga sekolah tidak kebingungan ketika akan memulai penerapan kurikulum berbasis kompetensi. Semua bentuk pembinaan untuk sekolah perlu memenuhi empat prinsip manajemen, yaitu: P (Planning), O (Organizing), A (Actuating), dan C (Controlling). Khusus yang berkaitan dengan “legalisasi” pada penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah kepastian “Kapan launching kurikulum berbasis kompetensi Dimulai” dan “Bagaimana Tahapan-tahapan Implementasinya”, serta “Apa Strategi/Pola Desiminasinya”. Semua ini telah ditetapkan dalam satu keputusan menteri pendidikan.

Implementasi kurikulum berbasis kompetensi di Indonesia telah berjalan sejak tahun 2001 pada beberapa sekolah yang dijadikan mini pilot. Implementasi yang telah dilakukan tersebut meliputi beberapa prinsip, yaitu kegiatan belajar mengajar, penilaian berbasis kelas, dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.

  1. Kegiatan Belajar Mengajar

Prinsip dasar kegiatan belajar mengajar adalah memberdayakan semua potensi yang dimiliki siswa sehingga mereka akan mampu meningkatkan pemahamannya terhadap fakta/konsep/prinsip dalam kajian ilmu yang dipelajarinya yang akan terlihat dalam kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif. Prinsip dasar lainnya adalah berpusat pada siswa, mengembangkan kreativitas siswa, menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai, menyediakan pengalaman belajar yang beragam, dan belajar melalui berbuat.

  1. Penilaian Berbasis Kelas

Salah satu prinsip penilaian berbasis kelas yaitu penilaian dilakukan oleh guru dan siswa. Hal ini perlu dilakukan bersama karena hanya guru yang bersangkutan yang paling tahu tingkat pencapaian belajar siswa yang diajarnya. Selain itu, siswa yang telah diberitahu bentuk/cara penilaian akan berusaha meningkatkan prestasinya. Prinsip penilaian berbasis kelas lainnya yaitu: Tidak terpisahkan dari kegiatan belajar mengajar; Menggunakan acuan patokan; Menggunakan berbagai cara penilaian (tes dan non tes); Mencerminkan kompetensi siswa secara komprehensif; Berorientasi pada kompetensi; Valid; Adil; Terbuka; Berkesinambungan; Bermakna; dan Mendidik.

Prinsip-prinsip penilaian di atas dilakukan dengan cara: kumpulan kerja siswa (portofolio), hasil karya (product), penugasan (project), unjuk kerja (performance), dan tes tulis (paper and pencil test). Setelah melakukan serangkaian penilaian yang sesuai dengan prinsip-prinsip di atas, maka orang tua siswa akan menerima laporannya secara komprehensif dengan menitikberatkan pada kompetensi yang telah dicapai oleh anaknya di sekolah.

  1. Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah

Prinsip pengelolaan kurikulum berbasis sekolah perlu dilakukan untuk memberdayakan daerah dan sekolah dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengelola serta menilai pembelajaran sesuai dengan kondisi dan aspirasi mereka. Prinsip ini mengacu pada “kesatuan dalam kebijaksanaan dan beragam dalam pelaksanaan”. Maksud “kesatuan dalam kebijaksanaan” adalah sekolah-sekolah menggunakan perangkat dokumen kurikulum berbasis kompetensi yang “sama” yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan “keberagaman dalam pelaksanaan” adalah keberagaman silabus yang akan dikembangkan oleh sekolah masing-masing sesuai dengan karakteristik sekolahnya. Dengan adanya pengelolaan kurikulum berbasis sekolah, maka banyak pihak/instansi yang akan berperan dan bertanggung jawab dalam melaksanakannya, seperti: sekolah, kepala sekolah, dinas pendidikan kota/kabupaten, dinas pendidikan provinsi, dan departemen pendidikan nasional.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa setiap sekolah dan guru mempunyai tanggung jawab untuk menerjemahkan kurikulum berbasis kompetensi dalam bentuk silabus yang akan mereka gunakan dalam pembelajaran di kelas. Silabus yang dibuat disusun berdasarkan karakteristik sekolah masing-masing, seperti: aspek kemampuan sekolah, kemampuan guru, kemampuan siswa, sarana/prasarana yang dimiliki sekolah, dan lain sebagainya. Selain itu, dalam menyusun silabus tidak ada “acuan” baku mengenai format dan isinya sehingga guru diberi keleluasaan untuk mengapresiasikan kemampuannya dalam menerjemahkan kurikulum berbasis kompetensi.

Penyusunan silabus dapat dilakukan dengan melibatkan para ahli atau instansi yang relevan di daerah setempat seperti tokoh masyarakat, instansi pemerintah, komite sekolah, dewan pendidikan, instansi swasta, perusahaan, perindustrian, dan lain sebagainya. Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah berkewajiban untuk menyusun pedoman pengembangan silabus yang akan dijadikan acuan oleh guru-guru dalam menyusun silabus. Pedoman pengembangan tersebut kemudian diterjemahkan oleh daerah/sekolah masing-masing sesuai dengan tingkat kemampuannya. Acuan penyusunan dan pengembangan silabus bagi daerah/sekolah adalah sebagai berikut:

  1. Membuat rambu-rambu pengembangan silabus yang sesuai dengan kebutuhan sekolahnya.
  2. Membentuk tim pengembang silabus pada tingkat sekolah masing-masing.
  3. Memfasilitasi kebutuhan guru-guru dalam menyusun silabus.

Tahap Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi

1. Uji Coba (Piloting)

Sejak tahun anggaran 2000/2001 Pusat Kurikulum telah melakukan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi bekerjasama dengan para ahli pendidikan dari perguruan tinggi dan guru. Dari pengembangan kurikulum tersebut diperoleh dokumen kurikulum berbasis kompetensi untuk Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Mulai tahun ajaran 2001/2002 kurikulum berbasis kompetensi diimplementasikan secara terbatas dalam bentuk mini piloting di beberapa sekolah di beberapa daerah. Sekolah-sekolah yang dijadikan mini piloting harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

    • a. Memiliki sumber daya manusia yang lengkap.
    • b. Memiliki sarana pendidikan yang lengkap.
    • c. Memiliki dana yang cukup.
    • d. Memiliki narasumber dari luar sekolah.

Tujuan mini piloting adalah untuk menguji-empiriskan kelebihan dan kekurangan kurikulum berbasis kompetensi secara langsung, baik dalam penyusunan silabus maupun dalam pembelajarannya. Pelaksanaan mini piloting menggunakan dua pendekatan, yaitu secara definitif dan partisipatif. Pendekatan secara definitif artinya sejumlah sekolah ditetapkan untuk melaksanakan kurikulum atas kesepakatan antara daerah dan pusat. Sedangkan pendekatan partisipatif artinya sekolah yang berada di luar wilayah mini piloting dapat mengambil inisiatif untuk berpartisipasi dalam mengimplementasikan kurikulum.

2. Sosialisasi dan Diseminasi Nasional

Mulai tahun pelajaran 2002/2003 dilakukan sosialisasi kurikulum berbasis kompetensi oleh Pusat Kurikulum bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah serta Dinas Pendidikan Daerah. Kegiatan sosialisasi ini dilakukan untuk menjelaskan perangkat dokumen kurikulum ke daerah/sekolah di provinsi, kabupaten, kota, dan kecamatan. Penjelasan yang diberikan antara lain sebagai berikut:

    • a. Mengapa dilakukan penyempurnaan kurikulum?
    • b. Mengapa kurikulum berbasis kompetensi?
    • c. Apa kuriklum berbasis kompetensi?
    • d. Bagaimana komponen kurikulum berbasis kompetensi?

Sosialisasi diselenggarakan oleh Pusat Kurikulum dengan beberapa cara, yaitu pelatihan, seminar, dan multimedia. Pelatihan, baik di pusat maupun di daerah, dilakukan dalam rangka membina para guru untuk mampu menyusun silabus. Seminar diselenggarakan untuk menjelaskan perangkat dokumen kurikulum kepada stakeholders. Selain itu, Pusat Kurikulum juga memanfaatkan teknologi informasi dalam sosialisasinya, yaitu dengan cara membuat situs (website) di internet. Diseminasi Kurikulum Berbasis Kompetensi secara nasional dilaksanakan pada tahun pelajaran 2004/2005.

C. Evaluasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

Evaluasi pengembangan kurikulum berbasis kompetensi merupakan penilaian dalam penerapan kurikulum berstandar nasional yang dikembangkan atau disusun berdasarkan kemampuan dan potensi daerah/sekolah dengan segala ciri khas daerah/sekolah tersebut. Evaluasi pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi dilakukan oleh tim ahli dari tingkat pusat, provinsi, dan daerah/kabupaten. Evaluasi dilakukan pada setiap tahapan pelaksanaan pengembangan kurikulum sebagai upaya untuk mengkaji ulang pelaksanaan kurikulum pada setiap jenjang pendidikan. Indikator keberhasilan yang digunakan sebagai tolok ukur pencapaian pelaksanaan kurikulum adalah sebagai berikut:

  1. Indikator keberhasilan sosialisasi kurikulum.
  2. Indikator keberhasilan penyusunan silabus.
  3. Indikator keberhasilan penyusunan program tahunan dan semester.
  4. Indikator keberhasilan penyusunan rencana pembelajaran.
  5. Indikator keberhasilan penyusunan bahan ajar.
  6. Indikator keberhasilan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.

Evaluasi pelaksanaan kurikulum tidak hanya menyoroti hasil belajar siswa dan proses pembelajarannya, tetapi juga rancangan dan pelaksanaan kurikulum, kemampuan dan kemajuan siswa, sarana dan prasarana, serta sumber belajarnya. Hasil evaluasi dapat digunakan oleh para pengambil keputusan untuk menentukan kebijakan pendidikan pada tingkat pusat, daerah, dan sekolah untuk memperbaiki kekurangan yang ada atau meningkatkan proses pembelajaran agar lebih optimal.

IV. Pembahasan

Digantinya Kurikulum 2004 (kurikulum berbasis kompetensi) dengan Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)) memunculkan banyak pertanyaan di masyarakat termasuk di kalangan pendidikan terutama guru. Banyak spekulasi yang dilontarkan para pemerhati pendidikan mengenai latar belakang utama dilakukannya pergantian kurikulum ini baik melalui media internet sampai peluncuran buku yang kesemuanya berdasarkan pada sudut pandang masing-masing. Seperti yang telah saya sebut di awal makalah ini, pembahasan latar belakang pergantian kurikulum ini menggunakan dua sumber utama yaitu buku “Pelayanan Profesional Kurikulum 2004 (Kurikulum berbasis kompetensi)” yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia melalui Pusat Kurikulum, dan buku “Panduan Penyusunan KTSP” yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Republik Indonesia. Isi buku sumber yang pertama sebagian besar dapat dilihat pada sub bab III di atas. Saya telah mencoba untuk menggali informasi juga dari beberapa rekan guru senior, yang pada tahun 2004 telah menjadi guru, tentang penerapan dan pergantian kurikulum 2004 di Indonesia yang sangat singkat. Namun, mereka sudah lupa tentang kurikulum 2004 mengingat sampai saat ini sudah terjadi dua kali perubahan kurikulum (kurikulum 2006 dan kurikulum 2013) beserta sejumlah revisinya.

Beberapa temuan yang didapat tentang alasan perubahan Kurikulum 2004 (Kurikulum berbasis kompetensi) menjadi Kurikulum 2006 (KTSP) berdasarkan buku “Pelayanan Profesional Kurikulum 2004” adalah sebagai berikut:

A. Diberlakukannya Otonomi Daerah

Sebelum kurikulum 2004 diberlakukan, kebijakan pendidikan di Indonesia dilakukan secara terpusat (sentralistik) di mana semua kebijakan dan aturan pendidikan, dari mulai kurikulum sampai pedoman pelaksanaan teknis, ditangani oleh pusat. Dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2002 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka besar kemungkinan para stakeholders pendidikan di daerah “kaget” dengan kondisi tersebut. Para pelaku pendidikan daerah, yang selama ini hanya melaksanakan instruksi dari pusat, dituntut untuk berperan secara aktif dalam merencanakan dan mengembangkan kurikulum untuk daerahnya. Saya berpendapat bahwa faktor ini ikut serta mempengaruhi hasil penerapan kurikulum 2004 yang tidak maksimal.

B. Tuntutan Kurikulum Berbasis Kompetensi Terlalu Tinggi

Kurikulum 2004 menuntut para pelaku pendidikan (terutama di daerah) untuk dapat berperan dalam mengatasi fenomena atau peristiwa yang saat itu dinilai pemerintah marak terjadi, seperti eksploitasi pusat terhadap daerah, eksploitasi manusia atas manusia, penggunaan jabatan yang sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan sumpah jabatan, perilaku kekerasan di kalangan remaja, percaturan bisnis yang tidak beretika, perilaku politik yang tidak beretika, masalah kualitas tenaga kerja, dan lain sebagainya. Stakeholder pendidikan di daerah dituntut untuk menjadikan fenomena-fenomena buruk tersebut sebagai inspirasi dalam pengembangan prinsip-prinsip kurikulum. Merumuskan hal seperti itu ke dalam kurikulum sekolah tentu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, terlebih lagi terdapat banyak keterbatasan para stakeholder di daerah untuk melaksanakannya.

Selain daripada itu, keterlibatan para stakeholder di daerah merupakan keterlibatannya yang pertama kali dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Kondisi seperti ini tentu merupakan beban yang sangat berat untuk dilaksanakan. Alih-alih menjalankan amanat yang diberikan pemerintah pusat, para stakeholder di daerah kemungkinan justru kehilangan arah dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Situasi inilah yang saya rasa berkontribusi pada kurang maksimalnya pelaksanaan Kurikulum berbasis kompetensi di Indonesia saat itu.

C. Kondisi Guru Yang Masih Kurang Berkualitas Dan Kurang Sejahtera

Guru merupakan ujung tombak pelaksanaan pendidikan yang sangat menentukan kualitas pendidikan (lulusan). Namun, pemerintah pusat sendiri mengakui bahwa terdapat masalah dari sisi kualitas dan kesejahteraan pada pendidik. Perlu saya informasikan bahwa saat ini saja Indonesia masih kekurangan jumlah guru untuk sekolah-sekolah, terutama guru mata pelajaran kejuruan di Sekolah Menengah Kejuruan, sehingga seringkali pihak sekolah menggunakan jasa seseorang untuk mengajar tanpa memperhatikan kualitas orang tersebut baik dari sisi keilmuan mata pelajaran yang akan diajar maupun dari sisi kemampuannya dalam mengajar (pedagogi).

Pemilihan orang untuk dijadikan guru cenderung menggunakan unsur kekerabatan tanpa dibarengi pertimbangan kemampuan mengajar orang tersebut yang akhirnya berimbas pada kualitas proses belajar mengajar di sekolah. Kondisi seperti itu saya menilai masih “wajar” dilakukan sebelum diterapkan Kurikulum 2004 karena honor guru tidak tetap (guru honorer) sangat kecil dan belum ada tunjangan profesi bagi guru (sertifikasi). Akan tetapi, kualitas dan kesejahteraan guru tersebut kemungkinan besar sangat berpengaruh pada pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi tahun 2004 yang menuntut banyak perubahan positif bagi para lulusan. Dengan demikian saya menilai bahwa rendahnya kualitas (dan kuantitas) dan kesejahteraan guru saat itu cukup berpengaruh pada kelancaran penerapan Kurikulum berbasis kompetensi.

D. Butuh Waktu Lama dalam Penyusunan Silabus dan Rencana Pengajaran

Kurikulum 2004 mengamanatkan daerah/sekolah untuk dapat menyusun silabus sendiri yang kemudian dijadikan pedoman untuk pembuatan rencana pengajaran. Sosialisasi kurikulum berbasis kompetensi memang menggunakan berbagai cara, dari pelaksanaan program-program pelatihan sampai penggunaan internet, namun, untuk menyusun silabus yang sesuai dengan kondisi dan karakter sekolah masing-masing membutuhkan waktu yang cukup lama karena penyusunan silabus oleh para guru merupakan hal yang baru bagi mereka. Besar kemungkinan penyusunan silabus dan rencana pembelajaran di daerah/sekolah menyita jadwal proses pembelajaran (kegiatan belajar mengajar). Terlebih lagi, pemerintah pusat (melalui Pusat Kurikulum) menganjurkan bahwa penyusunan silabus agar melibatkan para ahli atau instansi yang relevan di daerah seperti tokoh masyarakat, instansi pemerintah, komite sekolah, dewan pendidikan, instansi swasta, perusahaan, perindustrian, dan lain sebagainya.

Selain daripada itu, seperti yang telah dibahas di atas, kondisi kulitas guru yang masih rendah sangat berpotensi menjadi penghambat tersusunnya silabus dan rencana pengajaran yang benar-benar sesuai dengan kondisi sekolah mereka. Pada situasi seperti ini, seringkali para guru tidak menyusun silabus dan rencana pengajaran bersama tim di sekolahnya (tim pengembang silabus sekolah), melainkan menggunakan silabus dan rencana pengajaran yang telah disusun oleh sekolah lain. Bahkan, terkadang silabus dan rencana pengajaran yang mereka gunakan berasal dari sekolah di kota lain yang memiliki kondisi dan karakter yang cukup berbeda. Alasan yang sering diungkap adalah dikarenakan mata pelajaran dan jurusannya (untuk Sekolah Menengah Kejuruan) sama, maka mereka menilai bahwa silabus dan rencana pengajarannya boleh sama. Bahkan, sampai saat ini saya masih menemukan banyak guru yang masih enggan menyusun rencana pengajarannya sendiri. Dengan demikian, saya berpendapat bahwa kebutuhan waktu dalam penyusunan silabus dan rencana pengajaran di daerah/sekolah cukup mengurangi target terlaksananya Kurikulum 2004, terlebih lagi pada tahun tersebut akses komunikasi (termasuk internet) belum semudah seperti saat ini dan para penggunanya juga masih terbatas bagi kalangan guru tertentu saja.

E. Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi Hanya Mengikuti Tren

Salah satu pertimbangan dilaksanakannya kurikulum berbasis kompetensi ini adalah tren pendidikan di dunia. Hal ini dapat kita lihat dari penjelasan buku pertama yang menyebutkan bahwa “Negara-negara berkembang dan negara-negara maju di hampir seluruh dunia sekarang ini tengah berupaya meningkatkan kualitas pendidikannya dengan mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi”. Pernyataan tersebut memberi kesan bahwa penerapan kurikulum berbasis kompetensi di Indonesia merupakan “partisipasi” Indonesia atas tren pendidikan yang terjadi di negara-negara lain, dan bukan murni didasari atas kebutuhan Indonesia yang menginginkan peningkatan kualitas pendidikan melalui penerapan kurikulum berbasis kompetensi.

Saya menilai bahwa seandainya alasan utama penerapan kurikulum berbasis kompetensi di Indonesia hanya mengikuti tren dunia tanpa mempertimbangkan kondisi dan karakter dalam negeri, maka perangkat pendukung kurikulum 2004 dan pelaksanaannya tidak akan sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia sehingga “wajar” tujuan pendidikan nasional sulit tercapai, bahkan kualitas lulusan hasil penerapan kurikulum berbasis kompetensi juga akan sulit terwujud.

F. Uji Coba (Piloting) Dilakukan di Sekolah-Sekolah “Sempurna”

Berdasarkan keterangan dari sumber pertama, mulai tahun ajaran 2001/2002 dilakukan uji coba atau diimplementasikan kurikulum berbasis kompetensi secara terbatas di beberapa sekolah di provinsi Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Walaupun tidak disebutkan nama-nama sekolah yang dijadikan tempat uji coba, setidaknya sekolah-sekolah tersebut dipilih dan ditetapkan Pusat Kurikulum karena telah memenuhi kriteria sekolah yang sangat ideal, yaitu:

(1) Memiliki sumber daya manusia yang lengkap, artinya sekolah telah memiliki jumlah dan kualitas guru serta tenaga administrasi yang sangat baik. Dengan kata lain, guru dan tenaga administrasi di sekolah tersebut telah memenuhi kualifikasi atau standar tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang saat itu berlaku; (2) Memiliki sarana pendidikan yang lengkap, artinya sekolah secara mandiri telah memiliki segala fasilitas yang dibutuhkan, baik peralatan dan media pembelajaran (untuk pembelajaran teori dan pembelajaran praktikum) maupun kelengkapan pendukungnya seperti luas lapangan, jumlah toilet, perpustakaan dan bukunya, ruang Unit Kesehatan Sekolah, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, semua peralatan dan perlengkapan sekolah telah memenuhi standar sarana dan prasarana yang berlaku pada saat itu;

(3) Memiliki dana yang cukup, artinya sekolah telah mampu memenuhi segala kebutuhan dana yang diperlukan untuk menjalankan proses pembelajaran baik dari orang tua siswa ataupun sumber lain. Dikarenakan sumber utama dana sekolah saat itu adalah iuran siswa yang dibayarkan ke sekolah setiap bulan, maka kemungkinan besar sekolah yang dipilih untuk uji coba kurikulum adalah sekolah yang berisi siswa-siswa dari masyarakat kalangan ekonomi menengah ke atas. Dengan kata lain, sekolah telah memenuhi standar pembiayaan yang berlaku saat itu; (4) Memiliki narasumber dari luar sekolah, artinya sekolah telah memiliki kerjasama dengan pihak luar sekolah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Kerjasama seperti ini merupakan sesuatu yang biasa terjadi di Sekolah Menengah Kejuruan terutama pada mata pelajaran kejuruan, tetapi saya masih belum memahami kriteria keempat ini jika dikaitkan dengan kondisi belajar di jenjang pendidikan lain seperti Sekolah Menengah Umum, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Dasar. Berdasarkan empat kriteria di atas, kita dapat mengetahui bahwa sekolah yang dipilih untuk uji coba kurikulum 2004 adalah sekolah-sekolah yang “sempurna” atau sekolah-sekolah yang telah memenuhi standar minimum berdasarkan peraturan pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional saat itu.

Tujuan uji coba kurikulum 2004 adalah untuk menguji-empiriskan kelebihan dan kekurangan kurikulum berbasis kompetensi secara langsung, baik dalam penyusunan silabus maupun dalam proses pembelajaran, sebelum kurikulum tersebut diberlakukan secara nasional. Jika uji coba yang dilaksanakan hanya menampung informasi dari sekolah-sekolah “sempurna”, maka akan banyak informasi yang tidak tersampaikan ke pemerintah pusat tentang penerapan kurikulum 2004 di sekolah-sekolah yang tidak memenuhi empat kriteria di atas. Sebagai informasi tambahan, tahun 2014 Menteri Pendidikan menyatakan bahwa 70% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar minimal. Jika kita anggap bahwa kondisi sekolah di Indonesia pada saat uji coba mirip dengan kondisi pada tahun 2014, maka banyak sekali sekolah yang kondisinya tidak terwakili oleh sekolah-sekolah yang dijadikan tempat uji coba kurikulum. Dengan demikian, saya memiliki kecurigaan bahwa muncul banyak kelemahan dan kekurangan yang tidak terprediksi oleh pemerintah pusat saat kurikulum berbasis kompetensi diberlakukan secara nasional terutama dari sekolah-sekolah yang belum memenuhi standar minimum satuan pendidikan.

Terlepas dari benar atau tidaknya analisis di atas, yang pasti bahwa salah satu landasan utama (landasan hukum atau dasar yuridis) kurikulum 2004 diganti dengan kurikulum 2006 adalah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan ini secara eksplisit menyebutkan bahwa KTSP (Kurikulum 2006) dijadikan sebagai kurikulum operasional di satuan pendidikan (sekolah). Selain daripada itu, melalui peraturan ini Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dibentuk  dan kriteria minimal sistem pendidikan nasional atau yang lebih dikenal dengan delapan standar nasional pendidikan ditetapkan. Delapan standar itu terdiri dari: (1) standar kompetensi lulusan; (2) standar isi; (3) standar proses; (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan; dan (8) standar penilaian pendidikan.

Ada beberapa hal yang saya rasa cukup menarik untuk dibahas tentang isi buku panduan penyusunan KTSP (sumber kedua), salah satunya adalah pernyataan ketua BSNP saat itu, yaitu Bambang Soehendro, yang menyatakan bahwa:

Waktu penyiapan (buku panduan penyusunan KTSP) yang lebih lama disebabkan karena banyaknya ragam satuan pendidikan (sekolah) dan model kurikulum yang perlu dikembangkan. Selain daripada itu, model kurikulum diperlukan bagi satuan pendidikan yang saat ini belum mampu mengembangkan kurikulum secara mandiri.

Berdasarkan pernyataan di atas kita dapat mengambil dua informasi penting dari tiap kalimatnya. Saya menginterpretasikan bahwa pada kalimat pertama ketua BSNP menyatakan sekaligus mengakui bahwa sekolah-sekolah di Indonesia sangat beragam (termasuk adanya sekolah besar dan sekolah kecil) sehingga butuh banyak informasi yang harus diambil terlebih dahulu sebelum melaksanakan kurikulum baru yang akan diterapkan secara nasional. Pada kalimat kedua, saya menginterpretasikan bahwa beliau menyadari bahwa satuan pendidikan (guru-guru di sekolah) belum siap untuk melaksanakan Kurikulum 2004 (kurikulum berbasis kompetensi) termasuk penyusunan silabus, rencana pembelajaran, dan proses pembelajaran seperti yang diamanatkan pemerintah melalui program-program dan buku-buku panduan dari Pusat Kurikulum.

Selain daripada itu, buku panduan penyusunan KTSP (buku kedua sumber pembahasan ini) berisikan langkah-langkah penyusunan kurikulum secara detail. Hal ini mempertegas bahwa para guru belum siap melakukan penyusunan silabus dan rencana pembelajaran secara rinci dan mandiri atau dengan kata lain masih membutuhkan bimbingan yang lebih intensif. Dengan adanya BSNP yang bertugas untuk menyediakan pedoman dan panduan pelaksanaan kurikulum bagi para guru di Indonesia diharapkan kondisi pendidikan akan semakin baik dan tujuan pendidikan nasional akan terwujud.

Senada dengan pernyataan di atas, Herry Widyastono, selaku Peneliti Madya bidang pendidikan yang di awal diberlakukannya KTSP menjabat sebagai Kepala Bidang Kurikulum Pendidikan Non Formal dan Pendidikan Khusus di Pusat Kurikulum di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, menyatakan alasan perlunya pergantian atau penyesuaian kurikulum di Indonesia adalah sebagai berikut:

…potensi dan kemampuan setiap peserta didik berbeda satu sama lain, berbeda antara sekolah satu dengan sekolah yang lain, berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain; dan yang paling tahu potensi dan kemampuan setiap peserta didik adalah guru-guru yang bersangkutan. Oleh karena itu, yang paling ideal menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan saat ini adalah para guru yang bersangkutan.

Berkaitan dengan digantinya kurikulum berbasis kompetensi (kurikulum 2004) dengan KTSP (kurikulum 2006), beliau menjelaskan bahwa:

Berdasarkan masukan dari sekolah-sekolah piloting tersebut, rencananya semula akan dilakukan penyempurnaan, baru kemudian akan disahkan Menteri. Namun, pada tahun 2005 telah diberlakukan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan… peraturan tersebut mengatur tentang kurikulum pendidikan dan mengamanatkan bahwa kurikulum satuan pendidikan disusun oleh masing-masing satuan pendidikan, yang disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Oleh karena itu, dokumen kurikulum 2004 kemudian disempurnakan, mengacu pada masukan dari lapangan dan tuntutan PP 19/2005, selanjutnya istilah kurikulum 2004 diganti dengan Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL).

Ditinjau dari teori pendidikan, KTSP tetap menggunakan teori teknologi pendidikan yang merupakan penerapan dari model kurikulum berbasis kompetensi. Selain daripada itu, ditinjau dari sisi pendidikan kejuruan, kurikulum 2006 dan kurikulum 2013 (yang digunakan sampai saat ini) jelas merupakan model pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi (Competency-Based Education and Training). Terlebih lagi, kurikulum di Indonesia (kurikulum 2006 dan kurikulum 2013) telah menggunakan berbagai komponen pendidikan yang berbasis kompetensi seperti adanya kualifikasi lulusan (standar kompetensi lulusan) yang mengacu pada kualifikasi kerja, adanya penekanan pada penguasaan secara menyeluruh (mampu menunjukkan kemampuan baik kognitif, sikap, dan psikomotor, atau tidak hanya mampu melakukan tugas yang spesifik saja), adanya pedoman penilaian yang sangat jelas dan rinci (standar penilaian pendidikan), adanya pengakuan atau legalitas kemampuan dengan diberikannya sertifikat, dan lain sebagainya. Dengan demikian, saya berpendapat bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih menggunakan kurikulum berbasis kompetensi walaupun nama atau istilah dan pengembangannya disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat Indonesia.

V. Penutup

Kurikulum pendidikan pasti bersifat dinamis dan dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Penerapan kurikulum berbasis kompetensi di Indonesia pada tahun 2004 merupakan salah satu sejarah pendidikan yang telah dilalui dalam rangka mencerdaskan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Keberhasilan dan kegagalan penerapan kurikulum akan dijadikan sebagai informasi berharga untuk proses perbaikan pada jenjang selanjutnya bahkan dalam melakukan pergantian atau penyesuaian kurikulum yang dinilai lebih baik. Di satu sisi, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkewajiban menjamin dan memberikan sistem pendidikan yang terbaik bagi seluruh warga negara dengan memperhatikan karakter dan potensi bangsa. Di sisi lain, setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berperan secara aktif dalam mendukung dan melaksanakan program-program pendidikan yang dicanangkan pemerintah. Ketika pemerintah dan rakyat dapat bersinergi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sistem pendidikan, maka kulitas sumber daya manusia Indonesia akan serta merta meningkat dan tujuan pendidikan nasional akan tercapai.

Daftar Referensi

Badan Standar Nasional Pendidikan Republik Indonesia. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.

Burke, J. (ed). (1989). Competency Based Education and Training. London: The Falmer Press.

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2003). Pelayanan Profesional Kurikulum 2004: Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.

NN. (2018). Perkembangan Kurikulum di Indonesia hingga Kurikulum 2013 (K13). [Online]. Tersedia: https://gmb-indonesia.com/2018/05/20/perkembangan-kurikulum-di-indonesia-hingga-kurikulum-2013-k13/. [9 Maret 2020].

Pemerintah Republik Indonesia. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Jakarta: Lembaga Negara Republik Indonesia.

Ros. (2014). Anies Baswedan: 70 Persen Sekolah di Indonesia Tidak Penuhi Standar. [Online]. Tersedia: https://news.detik.com/berita/2756291/anies-baswedan-70-persen-sekolah-di-indonesia-tidak-penuhi-standar. [11 Maret 2020].

Sujatmiko, T. (2015). Sejarah Kurikulum Pendidikan Nasional. [Online]. Tersedia: http://dikdasmen.kemdikbud.go.id/index.php/sejarah-kurikulum-pendidikan-nasional/. [8 Maret 2020].

Widyastono, H. (2007). “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Kajian Yuridis dan Konseptual”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. 13, (066), 325-339.

 

Penulis,

 

ACHMAD SUNDORO

SMK Negeri 1 Kandanghaur, Kab. Indramayu, Jawa Barat – Indonesia

Nanjing Normal University (南京师范大学), Nanjing, Jiangsu, China.

No comments: