Thursday, April 4, 2013

Keluarga Berencana (KB) dalam Pandangan Islam

    Pertanyaan:
    Bagaimana pandangan islam tentang keluarga berencana (KB) khususnya dikaitkan dengan tujuan pendidikan anak? Apa dalil bolehnya KB. Selama ini terasa ada semacam penggunaan dalil-dalil keagamaan yang bukan pada tempatnya dan bagaimana pula dengan sterilisasi dan KB?

    M. Quraish Shihab Menjawab:
    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu perlu kita sadari bersama bahwa Islam memperkenalkan lima tujuan pokok kehadirannya, yang kepadanya bertumpu seluruh tuntunannya. Lima tujuan pokok tersebut adalah berkaitan dengan pemeliharaan (1) Agama, (2) Jiwa, (3) Akal, (4) Keturunan, dan (5) Harta.

    Segala petunjuk agama, baik berupa perintah maupun larangan, pasti pada akhirnya mengantar pada satu atau lebih dari kelima hal pokok di atas. Selanjutnya, semua langkah kebijaksanaan yang bermuara pada salah satu dari kelima hal di atas dapat menjadi tuntunan agama. dari lima prinsip tersebut - dan secara khusus prinsip "pemeliharaan terhadap keturunan" - kebijaksanaan kependudukan pendapat pijakan agama yang amat kukuh.

    Kemudian dari petunjuk-petunjuk global, diperoleh pula pijakan kukuh berkaitan dengan kependudukan. Sebagai contoh, dapat dikemukakan bahwa Al-Quran menegaskan bahwa alam raya berjalan atas dasar pengaturan yang serasi dan perhitungan yang tepat (QS. Ar-Rahman [55]: 7-9 dan al-Mulk [67]: 3). Ibadah yang dituntut pelaksanaannya pun berdasarkan pada keserasian dan perhitungan sedemikian itu (misalnya salat, zakat, puasa, haji). Semua itu akan mengantar seorang muslim untuk menjalani perlunya perhitungan-perhitungan yang tepat serta keserasian dalam kehidupannya, termasuk dalam kehidupan rumah tangga (jumlah anggota keluarga) yang harus diserasikan dengan kemampuan ekonominya.

    Sisi ketiga yang menjadi pijakan dalam pandangan agama (Islam) tentang kependudukan adalah kandungan ayat atau hadits yang secara tersurat dan tersirat berbicara tentang kependudukan. Memang, di sini, boleh jadi timbul aneka penafsiran yang menjadikan Anda merasa semacam ada "pemaksaan". Akan tetapi dari semua hal di atas - tanpa harus menyebut satu ayat pun - kita dapat berkesimpulan bahwa Islam membenarkan penggunaan kontrasepsi, apalagi hal tersebut telah dipraktikkan oleh para sahabat Nabi dengan cara yang mereka kenal ketika itu, yakni 'azl atau coitus interruptus. Segala macam bentuk dan cara kontrasepsi dapat dibenarkan oleh Islam selama:
  1. Tidak dipaksakan.
  2. Tidak mengugurkan (aborsi).
  3. Tidak membatasi jumlah anak. (penulis: kalau hamil saat pakai kontrasepsi atau "kecolongan" tidak melakukan aborsi)
  4. Tidak mengakibatkan pemandulan abadi.
    Selama ini sterilisasi dipahami oleh ulama sebagai pemandulan abadi, sehingga mereka membandingkannya dengan alat kontrasepsi yang lain semacam spiral yang berfungsi menghalangi pertemuan sperma dengan ovum, di mana sewaktu-waktu bila dikehendaki dapat dicabut. Akan tetapi, jika perkembangan ilmu pengetahuan menemukan cara yang tidak mengakibatkan pemandulan abadi, atau sterilisasi yang dilakukan dapat ditempuh dengan tidak mengakibatkan hal tersebut, maka tentu hukumnya dapat berubah dari terlarang menjadi boleh.

    Dengan demikian, melaksanakan KB dengan tujuan terpeliharanya pendidikan anak dapat dibenarkan. Bahkan Imam al-Ghazali membenarkan 'azl (coitus interruptus) walaupun dengan alasan memelihara kecantikan wanita. Demikian, wallahu a'lam.

    Sumber:
Shihab, M.Q. (2008). M.Quraish Shihab Menjawab - 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui. Jakarta: Lentera Hati (Hal. 457 - 459)

No comments: