Sistem
pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Indonesia mengadopsi dari sistem
pendidikan kejuruan Jerman yang terkenal dengan sebutan Pendidikan Sistem Ganda
(PSG) atau Dual System. Pengadopsian
inilah yang juga ikut berperan dalam lahirnya kurikulum 2004 yang sangat
menekankan pada pencapaian kompetensi oleh para peserta didik. Dengan menganut
sistem ganda ini, SMK melaksanakan kerjasama dengan pihak industri dalam rangkaian
proses pembelajaran yang akan dilalui peserta didik. Walaupun tahun 2006 kurikulum
(termasuk SMK) berganti menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
tetap saja ruh kurikulum 2004 (yang
berkaitan dengan kompetensi dan kerjasama antara sekolah dengan industri) tetap
sangat terasa. Dan penulis kira, kurikulum 2013 yang direncanakan segera
diterapkan di sistem pendidikan Indonesia, kemungkinan tidak akan banyak
perubahan dengan “kultur” pendidikan kejuruan yang sedang terlaksana sekarang
(KTSP). --- Beberapa alasan yang melatarbelakangi prediksi penulis perihal kurikulum
2013 untuk SMK tidak penulis bahas dalam tulisan ini ---
Tulisan ini
akan membahas beberapa hal mengenai pengelolaan sekolah kejuruan di Jerman, yang
merupakan “induk” sistem pendidikan kejuruan Indonesia, yang kemudian dapat
kita jadikan gambaran tentang pengelolaan sekolah kejuruan yang “seharusnya”.
Guru kejuruan
(di SMK disebut dengan guru produktif) merupakan “ujung tombak” sekolah dan yang
menjadi pembeda utama dengan SMA. Di Jerman, guru kejuruan harus mampu bekerja
dalam kerangka PSG, yang artinya, selain mengajar, guru kejuruan juga bertugas
menjalin kerjasama yang benar-benar erat dan menjaga hubungannya dengan
industri pasangan (bagian HRD-nya). Hal ini dikarenakan antara sekolah kejuruan
dengan industri saling membagi tanggung jawab dalam pendidikan dan pelatihan
peserta didik, di mana sekolah kejuruan justru berperan sebagai “junior partner”
dalam skema PSG ini. Bahkan, penilaian terhadap peserta didik di tahap akhir
pendidikannya berada di tangan kalangan industri (industri atau asosiasi tertentu
sesuai bidang kejuruan peserta didik). Maka dari itu, “performa” peserta didik
di sekolah tidak banyak berpengaruh, dan guru kejuruan lebih banyak berperan
pada pemberian kompetensi profesi dasar, kompetensi pribadi/soft skill (personal competence) dan menjaga motivasi belajar.
Pendidikan kejuruan
yang mengacu pada industri (PSG) memang mengharuskan pembelajaran benar-benar
terjadi atau dilaksanakan di industri. Sebutan “PSG” atau dual system bukanlah tanpa alasan, hal ini karena memang proses
pendidikan dan pelatihan sekolah kejuruan dengan sistem ini (terutama bagi skilled workers) menggunakan
perbandingan sebesar 70% pembelajaran di industri dan 30% pembelajaran di
sekolah kejuruan. Dari perbandingan tersebut kita dapat melihat bahwa peserta
didik benar-benar dilatih di tempat yang seharusnya, di mana sekolah kejuruan
berperan dalam pemberian teori dan pengetahuan dasar. Dengan demikian proses
pembelajaran ini merupakan refleksi dari pengalaman belajar di tempat kerja
bagi peserta didik.
Bagi
industri besar, biasanya proses pembelajaran dilakukan di unit/departemen yang
terpisah dengan proses produksi industri, sedangkan bagi industri yang
tergolong kecil biasanya menggabungkan diri dengan industri kecil lainnya yang
kemudian bersama-sama memberikan pembelajaran kepada peserta didik sesuai
dengan rencana pembelajaran yang telah ditetapkan di tempat yang telah
disediakan dengan sebutan intercompany
VET centres. Pembelajaran di industri ini tetap menggunakan pengawas dari
pekerja ahli yang telah dibekali pendidikan mengajar (pedagogic).
Kerangka
kurikulum pendidikan kejuruan Jerman dibuat dan dikembangkan secara
bersama-sama oleh 16 wilayah (federal
state) dengan mempertimbangkan segala kebutuhan dan permasalahan pendidikan
di tiap wilayahnya. Maka dari itu, kerangka kurikulum dapat berbeda antara satu
wilayah dengan wilayah lain. walaupun demikian, untuk menjaga keseimbangan
kualitas lulusan sebagai sumber daya manusia di Jerman serta untuk kepentingan
ekonomi negara, pemerintah (melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) mengkoordinasikan
semua wilayah dalam suatu konferensi.
Itulah
beberapa hal yang dilakukan Jerman dalam mengelola sekolah kejuruan mereka,
semoga negara kita segera mendapat sistem pendidikan kejuruan yang ideal bagi
Indonesia dengan segala potensi dan karakter yang dimiliki. Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment