Saturday, May 9, 2015

Catatan Unik di SMK Adelaide

Pertengahan tahun 2014 saya berkesempatan mengikuti program kunjungan ke sekolah di kota Adelaide. Program yang dinamai Continuous Professional Development (CPD) for West Java High School Teachers ini diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Departement for Education and Child Development melalui Education Development Centre (EDC) dan International Education Services (IES) dibantu tim Knowledge Exchange Australia selaku Event Organizer. Program ini diikuti oleh 168 guru SMA, 84 guru SMK, 36 Kepala SMA dan 36 Kepala SMK yang terbagi menjadi 7 grup dan beberapa jadwal pemberangkatan dan pemulangan yang berbeda. Pada postingan ini saya ingin berbagi pengalaman saya selama berada di Adelaide. Hal-hal yang akan saya ceritakan berkaitan dengan suasana sekolah yang saya kunjungi, akan tetapi saya tidak akan membahas hal-hal yang sudah menjadi rahasia umum atau hal-hal yang justru sudah sering atau mungkin "membosankan" untuk dibahas (setidaknya bagi saya sendiri), seperti fasilitas belajar sekolah di sana yang jauh lebih lengkap, gaji guru yang sangat tinggi, atau kedisiplinan guru dan siswa terhadap waktu, melainkan hal-hal "kecil" yang menurut saya cukup unik dan sepertinya layak dijadikan rujukan untuk lingkungan sekolah kita. 

Windsor Gardens Vocational College (WGVC) adalah salah satu sekolah negeri yang tergolong sebagai sekolah papan tengah alias "sekolah kecil" atau bukan sekolah favorit di lingkungannya, karena sebagian besar sekolah elit berstatus swasta. Sekolah ini mendidik siswa dari jenjang SMP sampai SMK dengan jumlah siswa 500-an orang, 42 guru tetap, dan 6 guru kontrak. Berikut adalah beberapa hal menarik yang saya temui:

1. Gerbang Sekolah

Berdasarkan pengalaman saya, sejak sekolah di Taman Kanak-Kanak (TK) sampai kuliah saya selalu melewati gerbang untuk memasuki lingkungan tempat belajar formal, di mana setelah masuk jam belajar gerbang tersebut ditutup rapat (kecuali saat kuliah) dan dijaga ketat oleh satuan pengamanan (satpam) sekolah dan guru piket. Selain untuk menghindari terjadinya pencurian oleh "orang luar", gerbang juga berfungsi untuk mencegah siswa keluar dari area sekolah tanpa izin dari guru piket saat jam belajar alias mabal yang pada kenyataannya justru, menurut saya, pagar dan gerbang sekolah seolah-olah sebuah jeruji penjara bagi para narapidana yang divonis hukuman sebagai siswa.
WGVC
Jalan Masuk Menuju WGVC
Akan tetapi, di WGVC tidak ada gerbang sama sekali, apalagi dengan ukuran yang sangat besar dan bertuliskan nama sekolah seperti yang banyak terjadi di lingkungan saya. Kalau siswa mau, mereka bisa mabal kapanpun mereka mau. Walaupun bisa masuk dan keluar sekolah jam berapapun, para siswa tetap mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan jam efektif yang diberlakukan dengan persentase keterlambatan siswa sangat kecil, karena selama tiga minggu di WGVC saya hanya menemukan tiga orang siswa yang terlambat masuk kelas di hari yang berbeda-beda. Sejujurnya, saat saya melihat WGVC yang tidak memiliki gerbang menjulang dan dikelilingi pagar tinggi nan kokoh memberi kesan bahwa sekolah tersebut sangat terbuka bagi lingkungannya dan menyambut hangat siapapun yang hendak memasukinya. Tidak nampak sebuah lingkungan yang meng-elit-kan diri dan tertutup bagi siapapun. Mungkin "kehangatan" ini juga dirasakan oleh para siswa yang membuat mereka sangat jarang mabal. Mungkin...

2. Siswa Izin Meninggalkan Sekolah

Student Service
Student Service - Tampak dari Dalam
Saat siswa hendak meninggalkan lingkungan sekolah di jam belajar dengan alasan apapun, sekolah (guru piket) tidak pernah melarang atau mengizinkan siswa, karena keputusan untuk hal ini berada sepenuhnya di tangan orang tua siswa itu sendiri. Artinya, saat siswa minta izin meninggalkan sekolah di jam belajar, maka siswa tadi melapor ke student service (bertugas seperti guru piket) dan petugas student service-lah yang mengkonfirmasikannya ke orang tua siswa dari mulai alasan pergi, bersama siapa, jam berapa kembali ke sekolah, dan lain-lain sampai keputusan didapat, sehingga saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kecelakaan lalu lintas, maka pihak keluargalah yang bertanggung jawab penuh akan hal tersebut walau terjadinya di jam belajar. Selain itu, jika siswa tidak kembali sesuai dengan janjinya, maka sekolah akan memberitahu orang tua.

3. Memeriksa Kehadiran Siswa

Memeriksa Kehadiran Siswa
Memeriksa Kehadiran Siswa
Bukanlah sesuatu yang baru tetapi masih belum umum bagi dunia pendidikan kita adalah penggunaan Hand-Phone (HP) guru dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sebagai contoh, guru memeriksa kehadiran siswa di awal dan di akhir pembelajaran menggunakan HP-nya yang terkoneksi ke server lokal (sekolah). Rekaman kehadiran siswa yang dilakukan guru tadi langsung masuk ke database sekolah dan dapat diakses oleh pengelola sekolah yang lain (para guru, student service, dan bagian administrasi (staf tata usaha (TU)). Dengan demikian, guru tidak perlu bersusah payah membuat dan mengumpulkan lembar-lembar absensi siswa saat rekapitulasi kehadiran siswa dibutuhkan, dan yang terpenting (menurut saya) meminimalisir manipulasi jumlah kehadiran siswa untuk laporan akhir masa pembelajaran.

 4. Guru Berhalangan Mengajar

Para guru di WGVC memiliki hak untuk tidak hadir mengajar dengan alasan "urusan keluarga" selama 15 hari kerja dalam setiap tahun yang disebut family leave, seperti untuk menjenguk anggota keluarga yang sakit atau pindah rumah. Akan tetapi, guru yang bersangkutan wajib memberitahukan ke sekolah minimal satu minggu sebelum hari izin yang di maksud, dan ini bisa dilakukan melalui HP guru dari rumah alias tidak perlu datang ke sekolah berikut mencantumkan alasan tidak hadir mengajar sebagai informasi jika ada orang yang mencari saat guru tadi tidak hadir di sekolah. Selain daripada itu, adanya rentang waktu satu minggu membuat sekolah cukup leluasa mencari guru pengganti sementara (bukan guru yang ada di sekolah tersebut). 

Sebagai informasi tambahan, hak 15 hari family leave ini akan "hangus" di akhir tahun jika tidak digunakan dan guru tetap mempunyai 15 hari family leave di tahun berikutnya alias tidak diakumulasikan. Berbeda dengan family leave, guru juga memiliki 10 hari sick leave (izin karena sakit) per tahun di mana jika 10 hari ini tidak digunakan, maka akan ditambahkan dengan hak 10 hari sakit tahun berikutnya (diakumulasikan). Jumlah hari sick leave yang terkumpul ini bisa diuangkan atau ditukar dengan uang (baik sebagian atau seluruhnya) oleh guru yang telah memiliki masa kerja di atas 10 tahun. Biasanya, uang hasil "penukaran" hari sakit inilah yang digunakan guru senior untuk biaya berlibur. Hak libur yang terakhir adalah libur/cuti melahirkan (maturity leave) bagi ibu guru yang berkisar antara enam bulan sampai satu tahun. Libur yang dirasa cukup panjang ini (jika dibandingkan dengan lamanya cuti melahirkan di Indonesia, yaitu tiga bulan) bertujuan agar sang ibu benar-benar fokus dalam merawat sang bayi sampai bayi tersebut benar-benar cukup siap ditinggal sang ibu mengajar. Hal ini dirasa sangat wajar karena Australia masih sangat membutuhkan jumlah sumber daya manusia mengingat jumlah penduduk yang masih sedikit dibandingkan luas negara dan kekayaan alam yang melimpah. Oleh sebab itu, pemberlakuan hak istimewa bagi generasi muda sangat diperhatikan.

5. Deputi Sekolah

Deputi sekolah adalah jabatan di bawah kepala sekolah tetapi di atas wakil kepala sekolah. Jabatan ini berfungsi hampir sama seperti kepala sekolah apalagi saat kepala sekolah memiliki kepentingan dinas di luar sekolah. Fokus utama deputi adalah pada hal-hal yang sifatnya operasional (teknis) sekolah, dengan kata lain deputi memastikan bahwa setiap individu di sekolah (siswa, guru mata pelajaran, wakil kepala sekolah, staf TU, ketua jurusan, student service, petugas kebersihan, dan lain-lain) menjalankan tugasnya dan perannya dengan baik. Saat dibutuhkan keputusan yang relatif "ringan" deputi masih bisa melakukannya, seperti memberi sanksi kepada siswa bermasalah atau menentukan jadwal rapat guru, tetapi saat berkaitan dengan keputusan yang "berat", misalnya memberi teguran dan sanksi kepada guru bermasalah maka kepala sekolah-lah yang menanganinya, karena tugas utama kepala sekolah adalah me-manage para guru.

6. Lelang Jabatan

Setiap jabatan strategis di sekolah seperti kepala sekolah, deputi, wakil kepala sekolah, dan ketua jurusan bersifat "untuk umum", artinya setiap posisi tersebut dapat ditempati oleh siapa saja dan dari mana saja selama memenuhi kriteria yang dibutuhkan untuk tiap jabatannya, di mana memiliki status sebagai guru tetap (PNS) dengan masa kerja tertentu biasanya merupakan kriteria utama. Penyebaran informasi kepada publik, proses lamaran, proses seleksi, sampai penunjukkan seseorang perihal lowongan jabatan dikelola oleh dinas pendidikan setempat, sekolah hanya melaporkan kebutuhan personil saja. Jadi, ketua jurusan di suatu sekolah bisa saja ditempati oleh guru yang sebelumnya mengajar di sekolah lain. Dengan cara ini, seorang pejabat baru benar-benar dituntut untuk bekerja secara maksimal, baik dari segi profesi ataupun sosial (melakukan hubungan dengan guru lain) karena bekerja di lingkungan yang baru. Setiap jabatan berlaku untuk lima tahun dan dapat melamar lagi ke dinas pendidikan untuk posisi dan sekolah yang sama yang tentunya harus bersaing dengan para pelamar lain untuk posisi tersebut.

7. Staf Tata Usaha (TU)

Front Office (TU) - Tampak Dalam
Ruang TU - Tampak dari Dalam
Saya cukup terkesan saat mengetahui jumlah staf TU hanya dua orang saja untuk mengurusi masalah administrasi. Perlu saya ingatkan kembali bahwa dua orang ini mengurusi dua jenjang sekolah (SMP dan SMK), 48 orang guru, dan lebih dari 500 orang siswa. Selain tugas administrasi, mereka juga bertindak sebagai penerima tamu saat ada orang luar yang berkunjung (misalnya orang tua siswa atau tamu untuk salah satu guru), melayani telepon yang masuk, sumber informasi bagi guru dan siswa, melayani fotokopi atau nge-print bagi siswa secara gratis (selama berkaitan dengan keperluan belajar), menjual barang dagangan sekolah (mirip koperasi sekolah) seperti seragam atau jaket sekolah, dan tugas-tugas administratif lainnya. Hampir seharian penuh saya habiskan waktu berada di ruang TU dan tidak sedikitpun saya mendengar keluhan dari mereka perihal pekerjaan mereka, bahkan mereka selalu tersenyum dan ramah kepada setiap orang yang datang. Di situlah saya merasa terkesan....!!!! Untuk urusan keuangan, ada satu petugas khusus yang menanganinya dan memiliki ruangan tersendiri.

8. Bentuk Loket

Front Office (TU) - Tampak Luar
Ruang TU - Tampak dari Luar
Saya merasa sangat nyaman saat berbicara dengan seorang petugas sekolah yang berada di balik loket tanpa terhalangi oleh kaca. Selain membuat efektif komunikasi dua arah, bentuk loket yang terbuka juga memberi kesan bahwa petugas loket benar-benar perhatian dan siap melayani siapapun yang datang. Saya masih banyak melihat bentuk loket yang tidak efektif di lingkungan tempat saya tinggal, tidak hanya di sekolah (seperti loket pembayaran iuran sekolah bagi siswa) tetapi juga loket di tempat-tempat pelayanan umum seperti puskesmas, kelurahan, stasiun kereta, kantor samsat, dan tempat-tempat lain di mana saya harus membungkukkan badan saat berinteraksi dan hanya mata atau mulut petugas saja yang terlihat. Kalaupun loket tersebut menggunakan kaca bening, tetap saja saya harus membungkuk karena sulit mendengar suara petugas dan sebaliknya. Kondisi yang bisa membuat encok saya kambuh ini tidak saya temui di WGVC karena loketnya cukup terbuka dan counter-nya (meja loket) memiliki ketinggian yang cukup. Bentuk loket yang sama nyamannya saya temui juga di tempat-tempat umum di Adelaide seperti di front office IES, EDC, dan information centre di pusat kota.

9. Jam Istirahat

Saat berkeliling di dalam lingkungan sekolah di jam istirahat, saya melihat ada beberapa guru senior yang menyebar di sekitar para siswa. Ternyata mereka sedang mengamati para siswa yang sedang beristirahat sekaligus mengawasi kegiatan atau perilaku siswa-siswi selama jam istirahat. Para guru tersebut hanya ingin memastikan bahwa perilaku para siswa tetap baik dan tidak melakukan hal-hal yang tidak diharapkan seperti perkelahian antar siswa, bullying, perusakan sarana sekolah, membuang sampah sembarangan, mencurat-coret tembok, bahkan terkadang guru harus melerai sepasang siswa yang berciuman.

10. WC Siswa

Hal terakhir yang ingin saya ceritakan adalah mengenai WC siswa yang saya nilai cukup representatif bahkan tidak kalah bagus dengan kondisi WC para guru. Di WC siswa laki-laki disediakan beberapa toilet (tempat buang air besar) dan dua tempat untuk buang air kecil (kencing) yang mirip dengan tempat wudhu di mana permukaannya dilapisi pelat logam antikarat yang cukup tebal (saya perkirakan 5 mm) (sayang sekali saya tidak memiliki gambar tempat kencing siswa). Selain itu, disediakan juga beberapa buah sink (tempat cuci tangan) yang terbuat dari logam yang sama dengan ukuran yang sangat memadai bagi siswa.

WC Siswa
Tempat Cuci Tangan di WC Siswa
Menurut saya, kondisi WC seperti ini tentunya mempermudah proses perawatan sekaligus memberi kesan bahwa sekolah sangat menghormati dan melayani kebutuhan para siswa dengan baik yang pada akhirnya siswapun akan tersadarkan untuk menghormati dan menjaga fasilitas sekolah. (Saya tidak tahu perihal kondisi WC siswa perempuan karena saya tidak mungkin memasuki ruangan tersebut).

 

 

11. Home-Visit

Sebagai seorang guru, saya sering melakukan kunjungan ke rumah salah satu siswa saya (selaku wali kelas) untuk bertemu dengan orang tua siswa dan mengkonfirmasikan hal-hal tertentu berkaitan dengan perkembangan belajar siswa (home-visit). Sebagian besar kunjungan yang saya lakukan berkaitan dengan perilaku siswa yang bermasalah di sekolah, dan bentuk kunjungan ini juga dilakukan oleh rekan-rekan guru di sekolah lain, jadi home-visit merupakan sesuatu yang lumrah dilakukan demi kepentingan pendidikan siswa. Akan tetapi, Home-visit merupakan salah satu hal yang paling tidak disukai baik oleh siswa ataupun oleh orang tua siswa mengingat tingginya nilai privasi tiap warga negara. Dan saya merasa bahwa guru setempatpun merasakan hal yang sama untuk home-visit ini (tidak suka). Maka dari itu, segala urusan sekolah semaksimal mungkin dilakukan dan diselesaikan di sekolah dengan cara mengundang orang tua siswa atau melalui telepon.

Jika memang sekolah tidak bisa melakukan komunikasi dengan orang tua siswa baik melalui telepon ataupun undangan ke sekolah, maka dengan terpaksa home-visit pun dilakukan, tapi yang membuat unik adalah sang guru yang mengunjungi rumah siswa harus ditemani oleh pihak kepolisian untuk menjaga terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Keterlibatan kepolisian setempat (mungkin seperti polsek) memang sangat mudah dilakukan karena antara sekolah dan pihak keamanan telah mejalin kerjasama seperti halnya dengan pihak-pihak lain seperti kantor pemadam kebakaran dan unit gawat darurat (UGD) rumah sakit terdekat.

Terimakasih Disdik Jabar
Terimakasih Disdik Jabar
Demikianlah sedikit hal yang bisa saya ceritakan, walupun sebenarnya masih banyak hal-hal yang saya rasa "sepele" namun cukup "unik" dan layak untuk dijadikan referensi bagi saya pribadi dan (semoga) bagi Anda yang saya dapati selama kunjungan ke Adelaide. Semoga tulisan ini bermanfaat.

No comments: