Pertengahan tahun 2014 saya berkesempatan mengikuti program kunjungan ke sekolah di kota Adelaide. Program yang dinamai Continuous Professional Development (CPD) for West Java High School Teachers ini diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Departement for Education and Child Development melalui Education Development Centre (EDC) dan International Education Services (IES) dibantu tim Knowledge Exchange Australia selaku Event Organizer.
Program ini diikuti oleh 168 guru SMA, 84 guru SMK, 36 Kepala SMA dan
36 Kepala SMK yang terbagi menjadi 7 grup dan beberapa jadwal
pemberangkatan dan pemulangan yang berbeda. Pada postingan ini saya
ingin berbagi pengalaman saya selama berada di Adelaide. Hal-hal yang
akan saya ceritakan berkaitan dengan suasana sekolah yang saya kunjungi,
akan tetapi saya tidak akan membahas hal-hal yang sudah menjadi rahasia
umum atau hal-hal yang justru sudah sering atau mungkin "membosankan"
untuk dibahas (setidaknya bagi saya sendiri), seperti fasilitas belajar
sekolah di sana yang jauh lebih lengkap, gaji guru yang sangat tinggi,
atau kedisiplinan guru dan siswa terhadap waktu, melainkan hal-hal
"kecil" yang menurut saya cukup unik dan sepertinya layak dijadikan
rujukan untuk lingkungan sekolah kita.
Windsor Gardens Vocational College (WGVC) adalah salah satu
sekolah negeri yang tergolong sebagai sekolah papan tengah alias
"sekolah kecil" atau bukan sekolah favorit di lingkungannya, karena
sebagian besar sekolah elit berstatus swasta. Sekolah ini mendidik siswa
dari jenjang SMP sampai SMK dengan jumlah siswa 500-an orang, 42 guru
tetap, dan 6 guru kontrak. Berikut adalah beberapa hal menarik yang saya
temui:
1. Gerbang Sekolah
Berdasarkan pengalaman saya,
sejak sekolah di Taman Kanak-Kanak (TK) sampai kuliah saya selalu
melewati gerbang untuk memasuki lingkungan tempat belajar formal, di
mana setelah masuk jam belajar gerbang tersebut ditutup rapat (kecuali
saat kuliah) dan dijaga ketat oleh satuan pengamanan (satpam) sekolah
dan guru piket. Selain untuk menghindari terjadinya pencurian oleh
"orang luar", gerbang juga berfungsi untuk mencegah siswa keluar dari
area sekolah tanpa izin dari guru piket saat jam belajar alias mabal yang
pada kenyataannya justru, menurut saya, pagar dan gerbang sekolah
seolah-olah sebuah jeruji penjara bagi para narapidana yang divonis
hukuman sebagai siswa.
Akan
tetapi, di WGVC tidak ada gerbang sama sekali, apalagi dengan ukuran
yang sangat besar dan bertuliskan nama sekolah seperti yang banyak
terjadi di lingkungan saya. Kalau siswa mau, mereka bisa mabal
kapanpun mereka mau. Walaupun bisa masuk dan keluar sekolah jam
berapapun, para siswa tetap mengikuti proses belajar mengajar sesuai
dengan jam efektif yang diberlakukan dengan persentase keterlambatan
siswa sangat kecil, karena selama tiga minggu di WGVC saya hanya
menemukan tiga orang siswa yang terlambat masuk kelas di hari yang
berbeda-beda. Sejujurnya, saat saya melihat WGVC yang tidak memiliki
gerbang menjulang dan dikelilingi pagar tinggi nan kokoh memberi kesan
bahwa sekolah tersebut sangat terbuka bagi lingkungannya dan menyambut
hangat siapapun yang hendak memasukinya. Tidak nampak sebuah lingkungan
yang meng-elit-kan diri dan tertutup bagi siapapun. Mungkin "kehangatan"
ini juga dirasakan oleh para siswa yang membuat mereka sangat jarang mabal. Mungkin...
2. Siswa Izin Meninggalkan Sekolah
Saat
siswa hendak meninggalkan lingkungan sekolah di jam belajar dengan
alasan apapun, sekolah (guru piket) tidak pernah melarang atau
mengizinkan siswa, karena keputusan untuk hal ini berada sepenuhnya di
tangan orang tua siswa itu sendiri. Artinya, saat siswa minta izin
meninggalkan sekolah di jam belajar, maka siswa tadi melapor ke student service (bertugas seperti guru piket) dan petugas student service-lah
yang mengkonfirmasikannya ke orang tua siswa dari mulai alasan pergi,
bersama siapa, jam berapa kembali ke sekolah, dan lain-lain sampai
keputusan didapat, sehingga saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,
seperti kecelakaan lalu lintas, maka pihak keluargalah yang bertanggung
jawab penuh akan hal tersebut walau terjadinya di jam belajar. Selain
itu, jika siswa tidak kembali sesuai dengan janjinya, maka sekolah akan
memberitahu orang tua.
3. Memeriksa Kehadiran Siswa
Bukanlah sesuatu yang baru tetapi masih belum umum bagi dunia pendidikan kita adalah penggunaan Hand-Phone
(HP) guru dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sebagai contoh, guru
memeriksa kehadiran siswa di awal dan di akhir pembelajaran menggunakan
HP-nya yang terkoneksi ke server lokal (sekolah). Rekaman kehadiran siswa yang dilakukan guru tadi langsung masuk ke database sekolah dan dapat diakses oleh pengelola sekolah yang lain (para guru, student service,
dan bagian administrasi (staf tata usaha (TU)). Dengan demikian, guru
tidak perlu bersusah payah membuat dan mengumpulkan lembar-lembar
absensi siswa saat rekapitulasi kehadiran siswa dibutuhkan, dan yang
terpenting (menurut saya) meminimalisir manipulasi jumlah kehadiran
siswa untuk laporan akhir masa pembelajaran.
4. Guru Berhalangan Mengajar
Para
guru di WGVC memiliki hak untuk tidak hadir mengajar dengan alasan
"urusan keluarga" selama 15 hari kerja dalam setiap tahun yang disebut family leave,
seperti untuk menjenguk anggota keluarga yang sakit atau pindah rumah.
Akan tetapi, guru yang bersangkutan wajib memberitahukan ke sekolah
minimal satu minggu sebelum hari izin yang di maksud, dan ini bisa
dilakukan melalui HP guru dari rumah alias tidak perlu datang ke sekolah
berikut mencantumkan alasan tidak hadir mengajar sebagai informasi jika
ada orang yang mencari saat guru tadi tidak hadir di sekolah. Selain
daripada itu, adanya rentang waktu satu minggu membuat sekolah cukup
leluasa mencari guru pengganti sementara (bukan guru yang ada di sekolah
tersebut).
Sebagai informasi tambahan, hak 15 hari family leave ini akan "hangus" di akhir tahun jika tidak digunakan dan guru tetap mempunyai 15 hari family leave di tahun berikutnya alias tidak diakumulasikan. Berbeda dengan family leave, guru juga memiliki 10 hari sick leave
(izin karena sakit) per tahun di mana jika 10 hari ini tidak digunakan,
maka akan ditambahkan dengan hak 10 hari sakit tahun berikutnya
(diakumulasikan). Jumlah hari sick leave yang terkumpul ini
bisa diuangkan atau ditukar dengan uang (baik sebagian atau seluruhnya)
oleh guru yang telah memiliki masa kerja di atas 10 tahun. Biasanya,
uang hasil "penukaran" hari sakit inilah yang digunakan guru senior
untuk biaya berlibur. Hak libur yang terakhir adalah libur/cuti
melahirkan (maturity leave) bagi ibu guru yang berkisar antara
enam bulan sampai satu tahun. Libur yang dirasa cukup panjang ini (jika
dibandingkan dengan lamanya cuti melahirkan di Indonesia, yaitu tiga
bulan) bertujuan agar sang ibu benar-benar fokus dalam merawat sang bayi
sampai bayi tersebut benar-benar cukup siap ditinggal sang ibu
mengajar. Hal ini dirasa sangat wajar karena Australia masih sangat
membutuhkan jumlah sumber daya manusia mengingat jumlah penduduk yang
masih sedikit dibandingkan luas negara dan kekayaan alam yang melimpah. Oleh
sebab itu, pemberlakuan hak istimewa bagi generasi muda sangat
diperhatikan.
5. Deputi Sekolah
Deputi sekolah adalah
jabatan di bawah kepala sekolah tetapi di atas wakil kepala sekolah.
Jabatan ini berfungsi hampir sama seperti kepala sekolah apalagi saat
kepala sekolah memiliki kepentingan dinas di luar sekolah. Fokus utama
deputi adalah pada hal-hal yang sifatnya operasional (teknis) sekolah,
dengan kata lain deputi memastikan bahwa setiap individu di sekolah
(siswa, guru mata pelajaran, wakil kepala sekolah, staf TU, ketua
jurusan, student service, petugas kebersihan, dan lain-lain)
menjalankan tugasnya dan perannya dengan baik. Saat dibutuhkan keputusan
yang relatif "ringan" deputi masih bisa melakukannya, seperti memberi
sanksi kepada siswa bermasalah atau menentukan jadwal rapat guru, tetapi
saat berkaitan dengan keputusan yang "berat", misalnya memberi teguran
dan sanksi kepada guru bermasalah maka kepala sekolah-lah yang
menanganinya, karena tugas utama kepala sekolah adalah me-manage para guru.
6. Lelang Jabatan
Setiap
jabatan strategis di sekolah seperti kepala sekolah, deputi, wakil
kepala sekolah, dan ketua jurusan bersifat "untuk umum", artinya setiap
posisi tersebut dapat ditempati oleh siapa saja dan dari mana saja
selama memenuhi kriteria yang dibutuhkan untuk tiap jabatannya, di mana
memiliki status sebagai guru tetap (PNS) dengan masa kerja tertentu
biasanya merupakan kriteria utama. Penyebaran informasi kepada publik,
proses lamaran, proses seleksi, sampai penunjukkan seseorang perihal
lowongan jabatan dikelola oleh dinas pendidikan setempat, sekolah hanya
melaporkan kebutuhan personil saja. Jadi, ketua jurusan di suatu sekolah
bisa saja ditempati oleh guru yang sebelumnya mengajar di sekolah lain.
Dengan cara ini, seorang pejabat baru benar-benar dituntut untuk
bekerja secara maksimal, baik dari segi profesi ataupun sosial
(melakukan hubungan dengan guru lain) karena bekerja di lingkungan yang
baru. Setiap jabatan berlaku untuk lima tahun dan dapat melamar lagi ke
dinas pendidikan untuk posisi dan sekolah yang sama yang tentunya harus
bersaing dengan para pelamar lain untuk posisi tersebut.
7. Staf Tata Usaha (TU)
Saya
cukup terkesan saat mengetahui jumlah staf TU hanya dua orang saja
untuk mengurusi masalah administrasi. Perlu saya ingatkan kembali bahwa
dua orang ini mengurusi dua jenjang sekolah (SMP dan SMK), 48 orang
guru, dan lebih dari 500 orang siswa. Selain tugas administrasi, mereka
juga bertindak sebagai penerima tamu saat ada orang luar yang berkunjung
(misalnya orang tua siswa atau tamu untuk salah satu guru), melayani
telepon yang masuk, sumber informasi bagi guru dan siswa, melayani
fotokopi atau nge-print bagi siswa secara gratis (selama
berkaitan dengan keperluan belajar), menjual barang dagangan sekolah
(mirip koperasi sekolah) seperti seragam atau jaket sekolah, dan
tugas-tugas administratif lainnya. Hampir seharian penuh saya habiskan
waktu berada di ruang TU dan tidak sedikitpun saya mendengar keluhan
dari mereka perihal pekerjaan mereka, bahkan mereka selalu tersenyum dan
ramah kepada setiap orang yang datang. Di situlah saya merasa terkesan....!!!! Untuk urusan keuangan, ada satu petugas khusus yang menanganinya dan memiliki ruangan tersendiri.
8. Bentuk Loket
Saya
merasa sangat nyaman saat berbicara dengan seorang petugas sekolah yang
berada di balik loket tanpa terhalangi oleh kaca. Selain membuat
efektif komunikasi dua arah, bentuk loket yang terbuka juga memberi
kesan bahwa petugas loket benar-benar perhatian dan siap melayani
siapapun yang datang. Saya masih banyak melihat bentuk loket yang tidak
efektif di lingkungan tempat saya tinggal, tidak hanya di sekolah
(seperti loket pembayaran iuran sekolah bagi siswa) tetapi juga loket di
tempat-tempat pelayanan umum seperti puskesmas, kelurahan, stasiun
kereta, kantor samsat, dan tempat-tempat lain di mana saya harus
membungkukkan badan saat berinteraksi dan hanya mata atau mulut petugas
saja yang terlihat. Kalaupun loket tersebut menggunakan kaca bening,
tetap saja saya harus membungkuk karena sulit mendengar suara petugas
dan sebaliknya. Kondisi yang bisa membuat encok saya kambuh ini tidak saya temui di WGVC karena loketnya cukup terbuka dan counter-nya
(meja loket) memiliki ketinggian yang cukup. Bentuk loket yang sama
nyamannya saya temui juga di tempat-tempat umum di Adelaide seperti di front office IES, EDC, dan information centre di pusat kota.
9. Jam Istirahat
Saat
berkeliling di dalam lingkungan sekolah di jam istirahat, saya melihat
ada beberapa guru senior yang menyebar di sekitar para siswa. Ternyata
mereka sedang mengamati para siswa yang sedang beristirahat sekaligus
mengawasi kegiatan atau perilaku siswa-siswi selama jam istirahat. Para
guru tersebut hanya ingin memastikan bahwa perilaku para siswa tetap
baik dan tidak melakukan hal-hal yang tidak diharapkan seperti
perkelahian antar siswa, bullying, perusakan sarana sekolah,
membuang sampah sembarangan, mencurat-coret tembok, bahkan terkadang
guru harus melerai sepasang siswa yang berciuman.
10. WC Siswa
Hal
terakhir yang ingin saya ceritakan adalah mengenai WC siswa yang saya
nilai cukup representatif bahkan tidak kalah bagus dengan kondisi WC
para guru. Di WC siswa laki-laki disediakan beberapa toilet (tempat
buang air besar) dan dua tempat untuk buang air kecil (kencing) yang
mirip dengan tempat wudhu di mana permukaannya dilapisi pelat
logam antikarat yang cukup tebal (saya perkirakan 5 mm) (sayang sekali
saya tidak memiliki gambar tempat kencing siswa). Selain itu, disediakan
juga beberapa buah sink (tempat cuci tangan) yang terbuat dari logam yang sama dengan ukuran yang sangat memadai bagi siswa.
Menurut
saya, kondisi WC seperti ini tentunya mempermudah proses perawatan
sekaligus memberi kesan bahwa sekolah sangat menghormati dan melayani
kebutuhan para siswa dengan baik yang pada akhirnya siswapun akan
tersadarkan untuk menghormati dan menjaga fasilitas sekolah. (Saya tidak
tahu perihal kondisi WC siswa perempuan karena saya tidak mungkin
memasuki ruangan tersebut).
11. Home-Visit
Sebagai
seorang guru, saya sering melakukan kunjungan ke rumah salah satu siswa
saya (selaku wali kelas) untuk bertemu dengan orang tua siswa dan
mengkonfirmasikan hal-hal tertentu berkaitan dengan perkembangan belajar
siswa (home-visit). Sebagian besar kunjungan yang saya lakukan
berkaitan dengan perilaku siswa yang bermasalah di sekolah, dan bentuk
kunjungan ini juga dilakukan oleh rekan-rekan guru di sekolah lain, jadi
home-visit merupakan sesuatu yang lumrah dilakukan demi kepentingan pendidikan siswa. Akan tetapi, Home-visit merupakan
salah satu hal yang paling tidak disukai baik oleh siswa ataupun oleh
orang tua siswa mengingat tingginya nilai privasi tiap warga negara. Dan
saya merasa bahwa guru setempatpun merasakan hal yang sama untuk home-visit
ini (tidak suka). Maka dari itu, segala urusan sekolah semaksimal
mungkin dilakukan dan diselesaikan di sekolah dengan cara mengundang
orang tua siswa atau melalui telepon.
Jika memang sekolah tidak
bisa melakukan komunikasi dengan orang tua siswa baik melalui telepon
ataupun undangan ke sekolah, maka dengan terpaksa home-visit
pun dilakukan, tapi yang membuat unik adalah sang guru yang mengunjungi
rumah siswa harus ditemani oleh pihak kepolisian untuk menjaga
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Keterlibatan kepolisian
setempat (mungkin seperti polsek) memang sangat mudah dilakukan karena
antara sekolah dan pihak keamanan telah mejalin kerjasama seperti halnya
dengan pihak-pihak lain seperti kantor pemadam kebakaran dan unit gawat
darurat (UGD) rumah sakit terdekat.
Demikianlah
sedikit hal yang bisa saya ceritakan, walupun sebenarnya masih banyak
hal-hal yang saya rasa "sepele" namun cukup "unik" dan layak untuk
dijadikan referensi bagi saya pribadi dan (semoga) bagi Anda yang saya
dapati selama kunjungan ke Adelaide. Semoga tulisan ini bermanfaat.
No comments:
Post a Comment